Penjual berlian


Faktanya, wanita tidak pernah gagal memikat perhatian laki-laki. Berapapun usianya. Itulah yang menjadikan Ayah begitu menjaga anak perempuannya, sekalipun ia masih berseragam merah putih. Sering kali Ayah meminta putrinya mengenakan jilbab jika keluar rumah, “Pakailah nak, latihan nanti kalau kamu di pesantren.” Daripada tidak diizinkan untuk main, ia memilih menarik jilbab yang tergantung dibalik pintu kamar kemudian merengsek keluar rumah.

“Kenapa Ayahmu memintamu berjilbab sih? Padahal kita cuma main di depan gang.”

“Ayah bilang, supaya aku terbiasa di pesantren nanti. Sebenernya aku juga gak mau, ribet.”

Masa terus berganti sampai anak perempuan itu tumbuh menjadi seorang gadis kebanggaan Ayahnya. Masih mengenakan jilbabnya, ia dibonceng Ayah untuk membeli anting emas di pasar. Dalam perjalanan ia melihat seorang gadis – yang mungkin seumur dengannya – berboncengan dengan laki-laki yang sebaya pula mengenakan celana pendek dan kaus tipis membentuk tubuh. Walaupun motor melaju lambat, gadis itu memeluk erat pinggang laki-laki yang tengah menyetir. Tak sadar ia bergidik membayangkan apa yang dirasakan laki-laki itu, yang menjadi pertanyaan baginya adalah: apa orang tua gadis itu mengizinkan dia keluar malam dengan pakaian se-rendah itu?

Sesampai di toko emas, Ayah terus memilih anting yang cocok digunakan untuk adik perempuannya yang masih bayi. Sementara ia terus memperhatikan penjual anting tersebut yang sibuk menawarkan harga dan kualitas emasnya.

“Kalau Bapak mau yang murah, yang diatas etalase Pak. Ini hanya dua gram, sedikit kusam sih tapi nanti bisa saya bersihkan kalau bapak mau.”

“Apa bedanya dengan yang di dalam etalase Mas? Modelnya sama, samain sajalah harganya.”

“jelas beda Pak. Yang di etalase ini belum ada yang pernah pakai. Jadi, kalau ada yang mau coba, saya kasih anting yang diluar. Bagaimana?”

Seperti ada symbol yang menggambarkan percakapan kedua laki-laki tua dihadapan gadis itu, namun ia belum mampu mencerna maknanya. Hingga setibanya di rumah, Ayah dan gadis itu sama-sama belum bisa mengistirahatkan mata dan memutuskan untuk bercengkrama diteras rumah, “Tahu kenapa Ayah melarangmu keluar tanpa jilbab?” Tanya Ayah, membuka pembicaraan.

Sang gadis hanya diam menatap Ayahnya dengan tatapan lanjutkan-saja-penjelasannya,

“Karena Tuhan yang melarang, Ayah hanya menyampaikan. Tahu kenapa Tuhan melarang setiap wanita membuka aurat?”

Lagi-lagi gadis itu hanya diam menunggu Ayah melanjutkan kalimatnya, “Karena islam menghormati wanita muslim. Kamu dibuat mahal hanya dengan kain yang harganya murah menutupi auratmu. Berapa harga celana pendek atau kaus yang keteknya kemana-mana itu? Coba bandingkan dengan harga jilbab. Baju mahal sekalipun bisa membuat penggunanya terlihat murah.”

Mata Ayah menerawang, meneguk kopi kemudian melanjutkan, “Tahu kenapa negara ini tidak maju-maju? Karena wanitanya sulit diatur! Padahal mayoritasnya islam, sebagian besarnya ibu dan anak perempuan. Tapi banyak dari mereka yang menggadaikan kehormatan untuk nikmat dunia yang tidak seberapa. Seburuk apapun rupanya, tubuh wanita itu tidak pernah gagal memikat perhatian laki-laki.”

“Tapi kenapa Negara barat bisa menjadi Negara maju, Yah? Padahal hampir tidak ada yang berjilbab disana.”

Ayah tersenyum getir kemudian menatap anak gadis disampingnya, “Ekonomi atau teknologi  Negara mereka mungkin maju, tapi tidak akal sehatnya. Benar tidak, kalau Ayah simpulkan, zaman sekarang itu teman seusiamu menganggap jilbab itu membatasi penampilan? Menganggap jilbab itu kuno, seperti ibu-ibu, tidak gaul?”

Anak gadisnya mengangguk pelan lalu Ayah melanjutkan, “Padahal jilbab bisa mengisyaratkan laki-laki, setidaknya wanita ini lebih ada harganya ketimbang yang tidak berjilbab. Seperti ibu-ibu, memangnya akan menjadi apa wanita yang saat ini muda? Lalu kalau mengenakan pakaian serba mini adalah bentuk ke-gaul-an, berarti binatang adalah makhluk paling gaul di dunia ini.”

Kali ini penjelasan Ayah mampu membuat anak gadisnya terkekeh, “Ada juga yang bilang, untuk apa berjilbab jika perilakunya buruk. Bagaimana dengan kalimat retorika seperti itu?”

“Kalau yang berjilbab saja masih dikhawatirkan akan berprilaku buruk, apa kabar dengan yang berpakaian seperti telanjang, Nak? Perilaku dengan jilbab itu adalah dua hal berbeda. Penampilan itu hal pertama yang dilihat mata kemudian dicerna otak hingga menimbulkan persepsi seseorang, namanya kesan pertama. Lagi-lagi semua ini kembali pada didikan keluarga gadis itu, Nak. Bagi Ayah, memiliki anak gadis itu seperi menjadi penjual berlian.” Tatapan Ayah kosong saat mengucapkan kalimat yang terakhir.

“Zaman kamu ini bikin Ayah takut. Anggaplah, jilbab dan rumah ini etalase, ayah dan ibumu penjualnya dan kamu menjadi emasnya. Tapi ayah tidak ingin kamu jadi emas, ayah ingin menjual kamu sebagai berlian.” Ayah menggantungkan kalimatnya.

“Lalu siapa yang mau membeli, Yah?” tatapan anak gadis itu penuh tanya.

“Calon imammu, pengganti Ayah. Suatu saat akan datang laki-laki yang memintamu dari ayah, Nak. Ayah dan ibumu masih berusaha menjadikan kamu berlian yang mahal harganya, agar nanti hanya laki-laki yang pantas lah yang berhak mendapatkan kamu. Laki-laki beruntung yang bisa memiliki perhiasan dunia, istri yang shalehah. Allah kan sudah menjanjikan, laki-laki yang baik diperuntukkan untuk wanita yang baik pula. Biarlah kamu dietalase dulu, sampai waktu yang telah ditentukan” kemudian Ayah tersenyum, lebih untuk dirinya sendiri.

Gadis itu tersenyum penuh arti sambil menatap Ayahnya yang mulai menua, terlihat dari sudut matanya saat tersenyum, “Lalu, bagaimana dengan Ayah teman-temanku yang membebaskan mereka memamerkan rambut dan bentuk tubuhnya? Apa Ayah mereka tidak sayang dengan anak gadisnya?”


“Ayah mana yang tidak sayang, Nak. Mereka sayang, hanya mereka tidak mengerti aturan Tuhan. Atau mengerti tapi kalah kuat dengan ego anaknya. Bolehlah sesekali kamu ajak mereka mencoba mengenakan jilbab, pelan-pelan saja tidak apa. Agar Indonesia ini kaya akan berlian, kaya akan perhiasan dunia.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Lorax

26 Facts About Me

Metamorphic; from Job-seeker to Employee