Berhenti Sekolah, Mulailah Belajar

 

Secara umum kita mengetahui bahwa sekolah adalah tempat untuk menimba ilmu dari orang yang berilmu dalam hal ini seorang guru. Hampir seluruh orang tua memilihkan sekolah yang terbaik untuk anaknya sekalipun harus mengeluarkan biaya yang tidak murah. Jika kita melihat definisi sekolah menurut KBBI ialah lembaga atau bangunan untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. 
Idealnya setiap anak yang datang pagi-pagi ke sekolah untuk belajar, untuk menerima pengalaman baru dari orang yang digugu dan ditiru (re: guru). Yang Saya tahu dari cerita guru dan orang tua, jaman dulu sekolah membentuk suasana yang mencekam, rotan atau minimal penggaris panjang tersedia di kelas. Dengan jaman yang terus berkembang, era papan tulis kapur berubah menjadi layar digital tipis dengan jari sebagi pengganti kapur, masih pantaskah model pembelajaran menjenuhkan itu diterapkan? 

Sejatinya, belajar bukan tentang bangunan sekolah yang megah, bukan tentang setumpuk pekerjaan rumah, bukan juga tentang nilai sempurna disetiap ujian. Tapi, bagaimana setiap anak sebagai peserta didik mampu memaknai proses pembelajaran. Bagaimana caranya?

Jika Anda seorang guru atau calon guru, didiklah anak-anak murid Anda dengan dasar cinta. Dengan dasar cinta atau kasih sayang Anda tak akan tega melihat kemampuan mereka dibatasi dengan sekelumit soal-soal di atas kertas yang tidak akan ia hadapi semasa hidupnya. Jika anak-anak murid Anda sudah mengerjakan apa yang Anda minta dengan usahanya sendiri, hargai itu! Jangan bandingkan hasil pekerjaan mereka dengan kemampuan Anda sekarang. Siapa yang salah jika seorang siswa hanya mampu menjawab empat soal yang benar dari sepuluh soal yang Anda berikan? Jika anak tersebut mengerjakan sendiri tanpa bantuan siapapun, itu kesalahan pengajarnya. Berarti anak belum memaknai arti dari proses belajar mengenai materi tersebut.




Bebaskan anak untuk melakukan apapun. Guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran bertugas membatasi jika apa yang mereka lakukan merugikan orang lain dan atau dirinya sendiri. Jika Anda memiliki anak murid yang bawel, jangan larang dia untuk berbicara banyak apalagi memaksanya untuk diam. Fasilitasi kemampuan verbalnya itu, misalnya, minta anak itu menceritakan tentang materi belajar dengan bahasanya sendiri di depan teman-temannya. Siapa yang tahu kelak anak tersebut akan menjadi presiden dengan gaya pidato yang disukai rakyat?

Buatlah suasana belajar yang menyenangkan. Yang jika mereka mendapat kabar akan libur sekolah mereka berteriak “Yaaaahhh…” dengan kompak bukan melompat kegirangan. Yang jika Anda tidak hadir di kelas untuk mengajar, mereka senang bukan merindukan. Buatlah image dimata mereka bahwa belajar itu menyenangkan. Bahwa menerima ilmu dari guru-guru di sekolah adalah kewajiban. Guru yang pro dengan anak muridnya, akan selalu dirindukan kehadirannya di kelas. Pro dengan siswa tidak berarti mengikuti setiap kemauan siswa. Dibutuhkan kreativitas guru untuk mengalihkan siswa yang memaksa ingin melakukan hal yang buruk. 

Jangan bebankan mereka dengan PR. Semakin banyak PR yang diberikan tidak berarti mereka akan semakin pintar. Jika pernyataan Saya salah, adakah hasil penelitian yang membuktikan seseorang yang hari ini hidupnya sukses berkat mengerjakan banyak PR semasa sekolah? Beban belajar sekolah di Indonesia jauh lebih banyak daripada di Finlandia yang kita tahu pendidikannya nomer satu di dunia, masih sanggupkah anak-anak murid menerima pelajaran lagi? Syukur kalau orang tua mereka ada di rumah, atau mereka punya kakak yang peduli, atau paling mentok di ikuti les tambahan yang malah menambah beban otaknya. 

Jangan menitikberatkan pada nilai atau angka. Paradigma orang tua saat ini adalah “Anak Saya pintar jika mendapat peringkat di kelas”. Ada lagi, untuk memilih sekolah, para orang tua melihat dari tingginya hasil UN di sekolah tersebut. Hal ini berdampak pihak sekolah akan mati-matian mendongkrak nilai UN agar sekolahnya tidak sepi pendaftar. Siapa yang sengsara? Para penerus bangsa. Jangan heran kalau Anda bertanya pada  para pelajar untuk apa mereka sekolah, mereka menjawab “Untuk mendapat nilai di ijazah”. 

Jadilah guru dan orang tua yang peduli. Anak-anak dalam usia pelajar sangat rentan terhadap perhatian orang tua dan guru. Dengan rasio antara guru dan murid di kelas yang tidak rasional jika kita kaitkan dengan tingkat kepedulian, tentu butuh kerja sama dengan pihak orangtua. Sepengalaman Saya mengajar, anak-anak yang memiliki ibu sesibuk ayahnya, cenderung lebih aktif untuk meraup perhatian penuh dari gurunya. Mencari perhatian yang cepat adalah dengan memancing emosi, membuat ulah yang secara langsung guru akan sering menegurnya bahkan mengingat namanya. Jika kita lihat dari sisi lain, betapa pentingnya perhatian orang tua dan guru sampai siswa berfikir yang penting ibu guru mengajaknya bicara dan mengingat namanya, walau dalam hal negatif. 

Jika anak-anak Indonesia, para pemegang masa depan negeri, masih datang ke sekolah hanya untuk mengerjakan soal-soal tanpa memahami manfaatnya dan untuk mendapatkan angka dari gurunya. Berhentilah sekolah, mulailah belajar. Mulailah belajar menghormati orang tua, menghargai hasil usaha orang lain sekecil apapun itu, pedulilah terhadap keadaan sekitar, berbuat jujurlah sekalipun hanya Allah yang melihat, bermimpilah setinggi-tingginya agar hasil belajar dapat mewujudkan cita-citanya. 

Buat seluruh pelajar di Indonesia: percayalah, kalian cerdas dengan bidang kalian masing-masing.


Oleh: Fatimah Azzahra Shellyni Sari 
Artikel pernah di post dalam kompasiana.com namun dihapus penulis karena beberapa alasan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Lorax

26 Facts About Me